Chat disini



Senin, 14 Maret 2011

Tsunami Aceh & Miyagi, Serupa Tapi Tak Sama

 

Tsunami yang melanda Prefektur Miyagi dan sekitarnya di Jepang, pada 11 Maret 2011, mirip dengan tsunami yang menghentak Aceh pada 26 Desember 2004. Tsunami di kedua wilayah ini serupa tapi tidak sama.
"Hampir sama yang terjadi di Jepang dan yang di Aceh. Yang di Aceh sebelumnya ada gempa besar dengan kekuatan 9,3. Di Jepang juga sama, ada gempa besar dulu dengan kekuatan 9," tutur ahli gempa dari ITB, Dr Hamzah Latif, dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (14/3/2011).
Hamzah memperkirakan, ketinggian gelombang di Aceh mencapai 14-32 meter. Sedangkan tinggi gelombang tsunami di Prefektur Miyagi dan sekitarnya ditaksir 6-14 meter.
Gempa di Aceh dan Jepang ditengarai terjadi karena proses subduksi, yakni benturan antara lempeng benua dengan lempeng samudra. Subduksi ini kemudian memicu gempa berkekuatan besar atau megathrust.
"Tapi bedanya di Jepang jumlah korban tewas, meskipun terus didata, tidak sebanyak korban tewas di Aceh," imbuh Hamzah.
Setiap kali bencana, pasti tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban namun juga kerugian ekonomi. Tidak terkecuali Jepang yang merupakan salah satu negara maju di dunia, di mana berbagai infrastruktur modern banyak yang rusak.
"Di kita yang meninggal sekitar 128 ribu orang, sedangkan di Jepang sekitar 1.000 lebih. Ini karena early warning di Jepang yang sudah baik dan antisipasi yang bagus," sambung Hamzah.
Menurut dia, kebanyakan korban tsunami Jepang adalah karena terkena reruntuhan bangunan. Bila dilihat kerusakan akibat tsunami dibandingkan jumlah korbannya, maka jumlah korban relatif sedikit.
"Jepang memang merasa daerahnya sering gempa dan ada ancaman tsunami, maka mereka membuat early warning system yang baik. Mereka juga memasang ocean bottom seismograph," sambung Hamzah.
Pada 1980-an, Jepang membutuhkan waktu 19-20 menit untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Namun sejak 2008, Negeri Matahari Terbit itu hanya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengetahui ada tidaknya tsunami.
"Helikopter sudah berterbangan sebelum tsunami. Kemudian orang-orang sudah melakukan prosedur sesaat setelah gempa, yakni menyalakan televisi lalu menyimak peringatan tsunami," tambah alumnus Universitas Tohoku, Jepang, ini.
Di Jepang, ada semacam 'pintu-pintu' penghalang agar tsunami tidak gampang mencapai kawasan perumahan warga. 'Pintu' terluar adalah green belt, kemudian sungai sejajar pantai untuk mengontrol banjir dan tsunami, jalan dan lahan pertanian. Setelah itu, baru ada kawasan perumahan warga.
"Namun banyak daerah industri yang dekat dengan pantai. Airportnya juga hanya sekitar 2,5 km dari garis pantai.  Karena banyak pabrik dan industri di pesisir, maka itulah yang kena. Kita lihat di televisi mobil-mobil mengapung seperti mainan. Itulah pabrik mobil Honda Miyagi yang mengekspor produknya," jelas Hamzah.
Tsunami Aceh terjadi setelah sebelumnya gempa berkekuatan 9,3 SR menghentak. Gempa tersebut memiliki kedalaman 10 km. Dalam peristiwa itu, lebih dari 120.000 orang tewas dan lebih dari 90.000 orang hilang. Gempa ini berdampak luas hingga ke Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilangka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika.
Pada 11 Maret lalu, Jepang diguncang gempa berkekuatan 9 dengan kedalaman 15-24 km. Gempa tersebut memicu tsunami yang menghantam Sendai dan sekitarnya. Lebih dari 1.600 orang tewas dan ribuan orang hilang. Gempa Jepang juga berdampak luas hingga ke Indonesia, Taiwan, Rusia, Pulau Marcus, Guam, Filipina dan Amerika Serikat.

1 komentar:

  1. Moga Indonesia tidak mengalami hal serupa lagi, mari kita bertobat kawan

    BalasHapus